Perkembangan
teknologi komunikasi
Judul
artikel jurnal : Trendsetter Komunikasi di
Era Digital:
Tantangan dan Peluang Pendidikan Komunikasi
dan Penyiaran Islam
alamat web/link artikel jurnal
:http://yjki.uinsby.ac.id/index.php/jki/article/view/44/29
Di review oleh :EMILIA
(411106185/01)
Andi Faisal Bakti.
Venny Eka Meidasari
Abstrak:
Penetrasi new media (media baru) yang mengglobal seakan meruntuhkan
dinding-dinding pembatas dan menjadikannya sebagai sekat liberalisasi
informasi. Realitas ini telah membawa masyarakat, termasuk masyarakat Muslim di
Indonesia masuk ke dalam era masyarakat informasi, sehingga pengendalian yang
tepat untuk memanfaatkan new media dan
mengeliminir dampaknya menjadi penting. Tulisan ini mendiskusikan
tantangan dan peluang komunikasi dan peyiaran Islam di
tengah-tengah era digital saat ini.
Kata kunci: trendsetter komunikasi, era digital, komunikasi dan
penyiaran Islam.
Memasuki abad
informasi, kita menyaksikan bagaimana media memiliki kekuatan dominan dalam
memengaruhi setiap dimensi kehidupan manusia. Dengan perkembangan teknologi
informasi dan komunikasi, media di era maya (cyber) seakan muncul
kembali ke dalam sistem komunikasi purbakala dan memosisikan penerima
(komunikan) sebagai pihak aktif. “Massifikasi komunikasi seakan akan bercampur
baur dengan demassifikasi. Internet (website) atau media online adalah
komunikasi interaktif sekaligus komunikasi massa” (Muis: 2001). Saat ini banyak
sekali situs bermunculan baik yang bersifat positif maupun negatif. Untuk situs
yang sifatnya positif dan bermanfaat atau menguntungkan, tidak menjadi masalah
apabila publik mengaksesnya. Namun apabila ada situs yang sifatnya negatif dan
menimbulkan efek buruk bagi publik, maka perlu sekali mendapat perhatian serius
agar tidak mempengaruhi generasi penerus bangsa. Hal ini memang tidak dapat
dibendung dalam komunikasi sosial di dunia maya, namun hal ini dapat dicegah
dengan memberikan pendidikan sejak dini mengenai etika dalam menggunakan
internet yang baik dan benar terutama dari kalangan keluarga dan sekolah.
Pendidikan etika besar sekali perannya sebagai fondasi dalam tumbuh kembang
seorang anak manusia. Pendidikan tentang dapat diajarkankan dalam setiap aspek
kehidupan; keluarga, lingkungan akademis, dan juga masyarakat sekitar. Di dalam
lingkup akademis, nilai-nilai etika dapat diajarkan dalam setiap lini termasuk
mata kuliah, seperti dalam pendidikan bahasa ataupun dalam komunikasi. Mengapa
bahasa dan komunikasi? Karena saat kita berbahasa, maka saat itulah kita
berkomunikasi. Dan saat kita berkomunikasi (termasuk saat berdakwah), maka saat
itulah kita perlu memerhatikan etika dalam menyampaikan pesan yang ingin dikomunikasikan.
Jika kita melihat bagaimana proses komunikasi (dakwah), hakikatnya tidak ada
yang berbeda antara komunikasi Islami (dakwah) dan non-Islami (sekuler) dalam
hal model (pola), proses, dan efeknya. Yang membedakan hanyalah pada landasan
filosofinya. Ketika kita berbicara pada landasan filosofi, Islam jelas
menggunakan Al-Quran, Hadits dan pendapat ulama. Sehingga suatu informasi yang
disiarkan melalui pola atau model apapun, esensinya tetaplah sama. Dalam
perspektif Islam, komunikasi selain bertujuan untuk mewujudkan hubungan secara
vertikal dengan Pencipta, juga berfungsi untuk menegakkan hubungan secara
horizontal terhadap sesama manusia. Komunikasi dengan Pencipta tercermin
melalui ibadah mahdha (salat, puasa, zakat dan haji) yang bertujuan
untuk membentuk takwa. Sedangkan komunikasi dengan sesama manusia terwujud
melalui penekanan hubungan sosial yang yang tercermin dalam semua aspek
kehidupan manusia seperti sosial, budaya, politik, ekonomi, seni dan
sebagainya. Al-Quran dan Hadits telah memberikan berbagai panduan agar
komunikasi berjalan dengan baik dan efektif. Kita dapat mengistilahkannya
sebagai kaidah, prinsip, atau etika berkomunikasi dalam perspektif Islam.
Kaidah, prinsip, atau etika komunikasi Islam (dakwah) ini merupakan panduan
bagi kaum Muslim dalam melakukan komunikasi, baik dalam komunikasi
intrapersonal, interpersonal dalam pergaulan sehari hari, berdakwah secara
lisan dan tulisan, maupun dalam aktivitas lain karena dakwah adalah ilmu
komunikasi. Sebagai perbandingan, Filsafat Islam (Ushuluddin), Hukum Islam
(Syariah), Pendidikan Islam (Tarbiyah), Humaniora Islam (Adab). Mengingat
pentingnya komunikasi bagi umat manusia khususnya umat Islam, maka dalam
artikel ini, penulis akan membahas tentang bagaimana komunikasi dipandang dalam
perspektif Islam, termasuk memberikan beberapa usulan dalam menghadapi berbagai
tantangan dan mengambil peluang di dalam era media digital yang menjadi trendsetter
saat ini untuk menyiarkan nilai-nilai ideologi di dalam Islam.
Komunikasi sebagai Alat Penyiaran Islam
Secara leksikal,
komunikasi adalah suatu proses ketika seseorang atau beberapa orang, kelompok,
organisasi, dan masyarakat menciptakan dan menggunakan informasi agar terhubung
dengan lingkungan dan orang lain sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami
(Stewart 2006). Secara bahasa, komunikasi yang berarti bersama-sama (common,
commoness: Inggris), berasal dari bahasa Latin yakni communicatio
yang berarti pemberitahuan, pemberian bagian (dalam sesuatu), pertukaran. Sedangkan
Shannon dan Weaver (1949) dalam karyanya Mathematical Theory of
Communication, melihat komunikasi sebagai fenomena mekanistis, matematis,
dan informatif: komunikasi sebagai transmisi pesan dan bagaimana transmitter menggunakan
saluran dan media komunikasi sebagai proses menjadikan kode sebagai sarana
untuk mengonstruksi pesan dan menerjemahkannya (encoding dan decoding).
Titik perhatiannya terletak pada akurasi dan efisiensi proses. Komunikasi yang
dimaksud dalam Islam tentunya bukan hanya komunikasi secara horizontal kepada
sesama namun juga komunikasi yang terjadi secara vertikal antara Pencipta yaitu
Allah S.W.T dengan kita sebagai hamban-Nya. Para pemikir Muslim telah mengembangkan
berbagai teori komunikasi yang menjadi komunikasi alternatif yang kemudian kita
sebut sebagai komunikasi Islam yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan
dan fitrah penciptaan manusia. Adapun komunikasi Islam menitikberatkan akan
adanya unsurunsur nilai ke-Islam-an dari komunikator kepada komunikannya
yang sesuai dengan Al-Quran dan Al-Hadits. Dalam konteks tersebut, Tehranian
(1988) mengungkapkan bahwa dalam prepektif Islam komunikasi haruslah
dikembangkan melalui Islamic World- View yang selanjutnya menjadi
asas pembentukan teori komunikasi Islam seperti aspek bahwa kekuasaan mutlak
hanyalah milik Allah, serta peranan institusi ulama dan masjid sebagai
penyambung komunikasi dan aspek pengawasan syariah yang menjadi penunjang kehidupan
Muslim. Hal ini juga ditopang oleh Mowlana, Tehranian dan Maulana adalah dua orang
tokoh sarjana yang berusaha mengintegrasikan antara Islam dan komunikasi. Kualitas
komunikasi yang dimaksud pun menyangkut nilainilai kebenaran, kesederhanaan,
kebaikan, kejujuran, integritas, keadilan, ke-sahih-an pesan dan sumber
yang ditegakkan atas sendi hubungan Islamic Tringular Relationship yaitu
antara Allah, manusia, dan masyarakat.
Adapun methatheory yang
dapat diketengahkan dari aspek epistemologi, ontologi, dan perspektifnya dapat
dimulai dari pembenahan aspek nilai-nilainya yang berdasarkan tauhid, persatuan
umat dengan adanya persamaan makna, serta orientasi kebahagiaan hidup akhirat
sebagai tujuan akhirnya Tatanan teknologi komunikasi dan informasi di era media
baru digital adalah sebuah terobosan yang mengangankan terwujudnya sebuah
struktur sistem media dan telekomunikasi internasional sehingga dapat
berlangsung arus komunikasi yang berimbang antarnegara. Kehadiran media digital
baru dirasakan sebagai era revolusi komunikasi yang meskipun di satu sisi akan
mempercepat arus informasi dari satu belahan dunia ke belahan dunia lain, namun
di sisi yang lain dikhawatirkan akan memperkokoh dominasi negara-negara
industri maju. Oleh karena itu hal ini juga sering disebut sebagai New Order
of Interactional Law. Mengenai hal ini, Gibson menyatakan, “Cyberspace.
Aconsensual hallucination experienced daily by billions of legitimate
operators, in every nation, by children being taught mathematical concepts...
A graphic representation of data abstracted from banks of every computer
in the human system. Unthinkable complexity. Lines of light ranged in
the nonspace of the mind, clusters and constellations of data. Like city
lights, receding” (Gibson 1982). Dan dikatakan pula bahwa realita maya (virtual
reality) memungkinkan kita untuk berlaku dan bermain seperti Tuhan. Karena
apapun yang kita kehendaki dapat kita lakukan. Atau dengan kata lain; we are
in no where but some where yang artinya, kita tidak di mana-mana, tetapi
ada di satu tempat. Di dalam doktrin Islam, manusia adalah khalifah Tuhan di
bumi (khalifatullah fi alardh). Manusia dapat mewarisi sifat-sifat Tuhan
yang tergolong Asmaul Husna. Hanya saja, Tuhan itu serba “Maha”.
Cyberspace, the Net, the Matrix saat ini adalah sama dengan O² atau biasa
dikenal dengan Oksigen yang merupakan kebutuhan bagi setiap manusia. Realita
maya pada new media menggunakan online Internet yang dikatakan
oleh Ito and kawan-kawan (2008) bahwa dunia maya merangkul kebebasan dan
pilihan. Terkait dengan aktivitas komunikasi, dalam studi ilmu komunikasi
dikenal dengan siapa sumber informasi (source, sender), pesan (message),
saluran (channel), penerima (receiver), serta efek (effect).
Apabila konsep ini coba diaplikasikan dalam kajian keislaman, maka kita akan
melihat satu persatu apa yang menjadi relevan dan sepadan dengan konsep Islam.
Seorang penulis kemudian dapat mengkajinya menurut konsep yang dipilihnya
seperti yang diuraikan Bakti (2005) di bawah ini: Apabila meneliti aspek source
(sumber) informasi ajaran Islam, maka seorang peneliti seharusnya dapat
mengambil Allah dan sifatsifat- Nya sebagai objek kajian. Kemudian apakah ini
boleh atau dibolehkan oleh Islam? Bagi yang menggunakan hadits "tafakkaruu
fi khalqi Allah, wa laa tafakkaruu fl al-khaliq" (bahwa silakan Anda
pikirkan ciptaan Allah tapi jangan sekali-sekali pikirkan Penciptanya
(Allah), maka tentu tak ada lagi jalan untuk mempelajarinya. Jadi di sinilah
masalahnya.
Namun demikian, kita
mendapatkan angin segar dari teologi, yakni ilmu tentang ketuhanan yang
membahas tentang sifat, zat, dan hakikat Tuhan. Ilmu kalam dan filsafat pun
kerap menggariskan koridor keilmuan pada aspek-aspek divinitas pencipta alam
ini, tentang bagaimana la dipahami manusia. Di sini Tuhan dikaji tentang apakah
la mempunyai sifat, zat, atau hakekat? Kita dapat mendekatinya berdasarkan
pendapat masing-masing aliran filsafat dalam Islam. Mu'tazilah, umpamanya,
beranggapan bahwa Tuhan tidak memiliki sifat, zat, dan haki-kat. Sementara
Asy'ari
berpendapat bahwa bukan hanya punya sifat;
zat, dan hakekat, tetapi juga memiliki eksistensi fisik dengan organ tubuh
seperti mata, telinga, tangan, dan lainnya. Sekarang bagaimana mengkaji ajaran
Islam dari segi pesan (message)nya? Mengenai hal ini, Bakti (2005:
27-32) menyatakan bahwa pesan-pesan utama Islam tersimpul di dalam kitab suci
Al- Qur'an. Nabi Muhammad pun meninggalkan pesan yang tertulis dalam bentuk
hadits. Kemudian para penerusnya pun melakukan proses ijtihad, penelusuran,
skrutinitas, yang kemudian melahirkan karya-karya monumental dalam Islam, yang
semuanya bisa dikaji secara message analysis. Berbagai macam cara
pengkajian yang dapat dilakukan. Seorang penulis bisa menggunakan penelitian
tafsir (Qur'anic exegesis). Pendekatannya pun beragam, bisa
dengan cara bi al-ra'yi atau bi al-ma'tsur, yang sudah populer
sejak zaman klasik. Bahkan bisa juga dengan pendekatan takwil atau
hermeneutika, semiotika, semantik, sintaksis, dan lainnya. Yang penting bagaimana
seorang penulis tetap menjaga agar data yang digunakan valid, serta
interpretasi dan analisisnya koheren. Dengan cara ini, maka ilmu-ilmu humaniora
dan keadaban mendapat angin segar yang pada gilirannya bisa mengembangkan atau
membangun temuan unik. Ilmu al-arudhi, naqd al-adabl, balaghah,
misalnya, bisa mendapatkan nuansa dan metodologi interdisipliner dari
ilmu komunikasi, dengan mengadopsi discursive, intertextual,
semiological analyses. Studi source (sumber) ini dapat juga meneliti
kemalaikatan dan kerasulan, prihal bagaimana pendapat para ahli kalam dan
teologi tentang keduanya. Para ulama dan pendiri mazhab pun bisa dikaji dengan
pendekatan sumber ini. Asal usul, serta latar belakang pendidikan, keluarga,
serta pikirannya sungguh akan menarik untuk dikuak. Studi message (pesan)
tentang hadits juga tetap menjadi penting. Al-Kutub al-Sittah atau al-Tis’ah
dan kitab para mazhab hukum Islam yang ada baik dalam tradisi Sunni maupun
Syiah merupakan objek yang tetap relevan untuk dikaji. Selain pendekatan di
atas, bisa juga hadits didekati dengan menggunakan content analysis,
discursive analysis, path analysis, dan lainnya. Berbeda dengan tradisi
klasik yang melihat hadits dari segi asbab alwurudnya, atau sanad dan matannya,
tradisi interdisipliner komunikasi dapat melihat hadits dari segi isinya
(temanya) bagaimana hadits itu dikonstruksi. Atau dengan pendekatan wacana
dengan melihat hadits dari segi diskors an-tara hadits yang satu dengan yang
lainnya. Sedangkan path analysis bisa melihat hadits melalui alur
penyampaiannya. Dengan demikian ilmu hadits bisa berkembang, tidak hanya
mewarisi Ilmu Musthalahah al-Hadits saja yang dipelajari berulang-ulang, mulai
tsanawiah hingga doktoral. Pesan lain yang dapat dikaji, selain rukun Iman
seperti di atas, adalah rukun Islam. Membicarakan hal ini memang amat riskan,
karena berkaitan dengan ibadah mahdhah yang diyakini umat Islam sebagai sesuatu
yang tak bisa berubah. Namun demikian, masih terbuka kemungkinan menelitinya
dari segi tematik dari ayat-ayat atau hadits tentang syahadat, shalat, puasa,
zakat dan haji. Perbedaan antara mazhab yang satu dengan yang lainnya tentu ada
dan menarik untuk dikaji lebih jauh. Pesan yang disampaikan oleh seorang ulama
atau pembicara melalui media komunikasi baik media cetak (printed media)
atau media elektronik (electronic media) dapat dikaji dengan analisis
isi (content), bingkai (frame), atau jalur (path), dengan
dituntun dengan teori konstruksi dalam ilmu komunikasi yang sarat
interdispliner ini. Apalagi bila memang meneliti dakwah penyiaran Islam di
dalam era media digital, maka analisis khalayak sungguh amat relevan. Reaksi
orang Islam terhadap program pemerintah di dunia Islam bisa diteliti dengan
menggunakan pendekatan ethnomethodology, yaitu pendekatan yang
menekankan pada common sense knowledge atau local knowledge (pengetahuan
lokal), melalui bahasa keseharian suatu masyarakat tertentu. Pendekatan lain
yang relevan adalah communitarian approach, yang menekankan pada
analisis komunitas Muslim berhadapan dengan komunitas lainnya. Terakhir adalah
pendekatan effect (pengaruh). Seorang peneliti akan memerhatikan sejauh
mana pengaruh sebuah ajaran, doktrin, organisasi, institusi atau seorang dai
terhadap masyarakat Islam tertentu. Masyarakat tersebut akan dibandingkan
bagaimana keadaan sebelumnya dengan keadaan sesudah mengikuti suatu program tertentu.
Bisa dengan cara wawancara, bisa juga dengan pendekatan ethnography sebagai
cabang dari antropologi, dengan terlibat langsung pada kegiatan dai tersebut.
Jadi participant observation menjadi pilihan tepat dalam hal ini.
Pertanyaan yang biasa diangkat adalah siapakah yang aktif dalam pembentukan
perubahan, apakah penerima atau pengirim.
Trendsetter Media Baru dalam Era Digital Beserta
Dampaknya
Secara leksikal, trendsetter
berarti “One that sets a trend” (Merriam 2012: para. 4). Jika
dikaitkan dengan ilmu komunikasi, maka trendsetter dalam komunikasi
bermula pada era kentongan dan asap, manusia mengirim pesan menaklukkan jarak.
Ketika alat tulis belum ditemukan, seorang raja mengirim kurir (manusia) untuk
menyampaikan pesan secara lisan pada raja di benua lain. Saat itu, cara itulah
yang populer dan trend digunakan. Dan ketika alat tulis ditemukan, trend
pun bergeser menjadi kertas yang berisi pesan dikirim melalui burung merpati.
Buku pun lahir, berlanjut dengan
teknologi komunikasi lainnya: telegraf,
telepon, surat kabar, majalah, radio, televisi, komputer dan kini, Internet dan
film. Namun, berbagai media di atas tidak semuanya dapat saling menggantikan
peran satu sama lain. Buku tidak digantikan oleh suratkabar, suratkabar tidak
digantikan oleh radio, radio tidak digantikan oleh televisi, dan televisi tidak
digantikan oleh komputer. Semua memiliki keunikan tertentu. Beranjak ke era cyberspace,
segala bentuk media komunikasi yang kita kenal: face-to-face meeting,
telepon, fax, surat, surat kabar, majalah, radio, TV, film telah bermutasi
menjadi teleconference, iphone (Internet telepon), i-fax (Internet
fax), e-mail (electonic mail, e-magazine (electronic
magazine), dan bermunculan berbagai jejaring social dalam media digital
yang menjadi trendsetter saat ini (Marioni dan kawan-kawan: 2007).
Dengan Internet kita memasuki ruang-waktu baru
yang bersifat nirjarak dan nirwaktu; dan kita menjumpai hampir seluruh bentuk
media komunikasi yang kita kenal berkonvergensi menyatu di sana, membuatnya
disebut multimedia. Terkait dengan trendsetter dalam dunia baru digital,
Abudiman (2012) berpendapat bahwa pemimpin di dunia maya lebih diartikan kepada
yang mampu menjadi trendsetter dalam kawasan media sosial ini. Hal
tersebut tidak terjadi begitu saja, media elektronik merupakan salah satu hal
yang memberikan pengaruh kuat. Semakin media menyoroti trendsetter ini,
semakin itu pula ia akan menjadi pemimpin yang mampu menggalalang massa dalam lingkup
negaranya (baca: media sosial), selain ia harus mampu membaca perilaku para
penggguna media sosial lainnya. Abudiman (2012) juga menyatakan, dalam dunia
maya, rakyatdiartikan kepada pengguna yang turut mengambil peran alias
mendukung akan trend yang diciptakan oleh pemimpin ini. Tapi ingat,
pemimpin disini memiliki relasi bersifat horizontal, bukan vertikal, artinya,
pemimpin dan rakyat memiliki kedudukan yang setara, dan rakyat memiliki hak
untuk turut mengambil bagian dari trend atau memilih untuk tidak mengambil
bagian, atau bahkan justru menciptakan koloni baru dengan menjadi pihak oposisi
trend yang sedang berlangsung. Itu berarti setiap pengguna media sosial
memiliki peluang menyandang gelar pemimpin republik teritori media sosial.
Beranjak ke istilah “media baru digital”, istilah ini sendiri digunakan oleh
Ito dan kawan-kawan (2008:12) karena media ini merupakan perkembangan dari
dunia teknologi yang terdiri atas seperangkat media yang tidak akan berfungsi
jika berdiri sendiri. Contoh media digital baru ini antara lain adalah telepon
genggam, personal digital assistants (PDAs), game consoles, dan
komputer, yang kesemuanya tersambung dengan Internet (tidak akan berfungsi jika
hanya ada satu media). Dan lagi-lagi, teknologi membawa kita dari dunia yang
serba terbatas menjadi tak terbatas. Seperti layaknya sisi mata uang, kemajuan
teknologi di era media baru digital tentunya membawa dampak positif dan
negatif. Dampak yang ditimbulkan ini jelas merupakan kemajuan teknologi
komunikasi dan informasi, mengingat globalisasi merupakan suatu kondisi yang
membuat batas-batas geografis seolah-olah tidak ada. Penduduk dunia berada
dalam ruang kaca dan mereka dapat melihat kejadian di luar daerahnya dengan
jelas tanpa perlu mendatangi daerah tersebut. Dan keadaan ini merupakan dampak
dari pesatnya perkembangan teknologi (Abbas 2003).
Saat ini Internet merambah seluruh dunia
hingga ke pelosok desa, seiring dengan pesatnya perkembangan media digital
baru, media sosial dikenal oleh pengguna Internet di jagat ini. Media sosial
sebagai salah salah satu media online era digital yang memungkinkan para
pengguna bisa berpartisispasi telah menciptakan dunia sendiri bagi para
penggunanya. Tak pelak, media sosial seakan menjadi kebutuhan primer bagi
masyarakat era modern. Tak pandang usia, dari bocah-bocah “ingusan” bahkan
dewasa terlarut dalam nostalgia media sosial. Facebook, Twitter,
blog, Second Life, YouTube dan aplikasi sosial lainnya menjadi trendsetter
komunikasi digital yang begitu mendunia seakaan menjadi rumah kedua tempat
pelabuhan segala keluh–kesah.
Dakwah Penyiaran Islam Melalui Trendetter
Komunikasi
Secara umum, definisi
dakwah yang dikemukakan para ahli menunjuk pada kegiatan yang bertujuan
perubahan positif dalam diri manusia. Perubahan positif ini diwujudkan dengan
peningkatan
iman, mengingat sasaran dakwah adalah iman.
Dakwah sering dipahami sebagai upaya untuk memberikan solusi Islam terhadap
berbagai masalah dalam kehidupan. Untuk itu dakwah harus dikemas dengan cara
yang menarik dan tampil secara aktual, faktual dan kontekstual. Aktual berarti
dapat memecahkan masalah-masalah yang kekinian dan hangat di tengah masyarakat.
Faktual berarti
konkret dan nyata, sedangkan kontekstual
dalam arti relevan dan menyangkut problema yang sedang dihadapi oleh
masyarakat. Agama Islam sebagai suatu ajaran tidaklah berarti, manakala manusia
tidak dimanifestasikan dalam perbuatan amalia. Ini dikarenakan agama tersebut,
bukanlah agama yang semata-mata menyoroti satu sisi dari kehidupan manusia
saja, akan tetapi Islam meliputi dan menyoroti semua persoalan hidup manusia
secara total. Pengertian dakwah tidak lain adalah komunikasi, hanya saja yang
secara khas dibedakan dari bentuk komunikasi yang lainnya terletak pada cara
dan tujuan yang akan dicapai. Di dalam komunikasi mengharapkan adanya
partisipasi dari komunikan atas ide atau pesan yang disampaikan oleh pihak
komunikator sehingga dengan pesan-pesan yang disampaikan tersebut terjadilah
perubahan sikap dan tingkahlaku yang diharapkan. Seorang muballigh sebagai
komunikator mengharapkan adanya partisipasi dari pihak komunikator dan kemudian
berharap agar komunikannya dapat bersikap dan berbuat sesuai dengan isi pesan
yang disampaikannya.
Ciri khas yang
membedakan adalah terletak pada pendekatanya yang dilakukan secara persuasive,
dan juga tujuannya yaitu mengharapkan terjadinya perubahan/pembentukkan sikap
dan tingkah laku sesuai dengan ajaran-ajaran agama Islam. Dakwah merupakan
proses komunikasi, tetapi tidak semua proses komunikasi merupakan proses
dakwah. Sains dan teknologi dapat membantu kita agar dakwah kita juga ikut
cerdas. Dakwah harus berakar dari kepercayaan akan emprisisme yang sangat kuat.
Dakwah juga seharusnya tidak diterjemahkan lagi sebagai sesuatu yang mengarah
pada makna seperti: hallo-hallo, propagation, missionary,
proselytization dan conversation. Hal ini, bukan hanya kurang
produktif, tetapi malah bisa jadi kontra produktif dan bumerang, karena dakwah
Islamiah kemudian dibenci dan ditakuti. Makna dakwah seperti ini bukanlah studi
ilmiah atau empiris, karena selalu mulai dengan: Ud’uu ilaa sabiili rabbika.
Man ahsanu qawlan min man da’aa ilaa Allaah. Ballighuu ‘annii walaw aayah.
Kecuali melalui proses reinterpretasi, ayat-ayat ini semua mengarah kepada
Allah yang abstrak itu. Pada era media baru digital sudah mulai menjamur, maka
kita juga perlu memanfaatkan Internet untuk sarana dakwah. Dahulu, pada saat
Internet pertama kali diperkenalkan oleh para ilmuan Barat, hampir kebanyakan
tokoh Islam merasa curiga dan khawatir akan efek dari temuan teknologi
tersebut. Padahal, dakwah penyiaran Islam melalui jaringan Internet sangat
efektif dan potensial dalam menyebarkan tata nilai, etika dan moral (akhlak)
yang luhur dan mulia.
Ada tiga metode yang
dapat ditempuh dalam berdakwah:
1.
Menggunakan Ilmu Komunikasi dalam melihat dakwah Ilmu
komunikasi telah berhasil menempa diri menjadi ilmu yang punya koridor
tersendiri. Tak dapat dibantah bahwa temuan-temuan telekomunikasi sekarang ini
beranjak dari filsafat ilmu komunikasi yang percaya kepada empirisisme.
2.
Dakwah dapat ditilik dengan menggunakan teori-teori ilmu
komunikasi seperti konstruksi dan komunikasi interaktif.
3.
Dakwah dilihat sebagai masalah yang bisa dideteksi Pelaku
dakwah, institusi atau lembaga dakwah, pelaksanaan dakwah, proses dakwah, dana
dakwah, interaksi dakwah, evaluasi dan analisa dakwah (keuangan)
4.
Bukan menyangkut hal transendental, keimanan kepada yang
“ghaib” (menurut pengertian umum).
Tantangan dan Peluang Komunikasi dalam
Penyiaran Islam di Era Media Baru Digital
Media baru digital
terutama komputer dan telepon genggam yang terkoneksi dengan Internet merupakan
salah satu contoh hasil kemajuan teknologi komunikasi modern yang dapat
dijadikan sebagai media penyiaran agama Islam. Peranan media ini sebagai media
penyaiaran agama Islam dewasa ini dipandang sangat penting sejalan dengan
semakin banyaknya peminat jenis media tersebut. Negara-negara Muslim mutlak
perlu mengembangkan dan mempromosikan sumber tradisional komunikasi, seperti:
jurnal ilmiah dan pendirian jaringan-jaringan informasi yang kecil dan dirancang
secara spesifik untuk menyatukan dan mengajukan
gagasan antara para ilmuan dan intelektual Muslim. Dewasa ini dunia
Muslim sangat kekurangan jurnal-jurnal ilmiah. Oleh karena itu dunia Muslim
dituntut untuk menerbitkan sejumlah besar jurnal primer dan skunder yang
dikhususkan untuk para ilmuan serta intelektual Muslim untuk melayani dunia
Muslim. Jurnal ilmiah barat telah terbukti kreatifitasnya ditunjukkan kepada
negara-negara industri, karena negara industri telah terbiasa membaca jurnal
tersebut.
Mengapa Menggunakan Media Baru Digital?
Dakwah melalui trendsetter
komunikasi media baru digital perlu diperhitungkan dengan berbagai alasan.
Di antaranya, pertama, mampu menembus batas ruang dan waktu dalam
sekejap dengan biaya dan energi yang relatif terjangkau; Kedua, pengguna
jasa Internet setiap tahunnya meningkat drastic. Berdasarkan data dari Social
Baker, pengguna Facebook saja di negeri ini mencapai 42.58 juta
dengan tingkat penetrasi mencapai 17.57% yang menempatkannya pada posisi
keempat pengguna Facebook terbesar di dunia setelah AS, India dan
Brazil. Belum lagi pengguna Twitter yang penetrasinya mencapai 28% per
awal tahun 2012. Meningkatnya intensitea penggunaan Internet ini berarti
berpengaruh pula pada jumlah penyerap misi dakwah; Ketiga, para pakar
dan ulama yang berada di balik media dakwah via Internet bisa lebih konsentrasi
dalam menyikapi setiap wacana dan peristiwa yang menuntut status hukum syar’i; Keempat,
dakwah melalui Internet sudah menjadi salah satu pilihan masyarakat.
Berbagai situs dapat
dipilih materi dakwah yang disukai; Kelima, cara penyampaian yang
variatif telah membuat dakwah via Internet bisa menjangkau segmen yang luas; Keenam,
pembelajaran ilmu akan berlangsung efektif ketika disosialisasikan secara
informal; Ketujuh, hal yang dipelajari dari orang/tokoh yang kita
kagumi/sayangi akan lebih mudah diserap dibandingkan dengan pembelajaran
konvensional di kelas; adanya kecenderungan ketika seseorang merasa
santai/relaxed (berada di kafe atau di rumah), Kedelapan, akan lebih
mudah baginya untuk menyerap ilmu pengetahuan dibandingkan dalam keadaan tegang
atau berada dalam situasi formal. Hal yang dipelajari dari orang/tokoh yang
kita kagumi/sayangi akan lebih mudah diserap dibandingkan dengan pembelajaran
konvensional di kelas; Kesembilan, adanya kecenderungan ketika seseorang
merasa santai/relaxed (berada di kafe atau di rumah); dan kesepuluh,
akan lebih mudah baginya untuk menyerap ilmu pengetahuan dibandingkan dalam
keadaan tegang atau berada dalam situasi formal. Dari uraian di atas dapat
terlihat bahwa peranan dan fungsi media dalam memberikan pemodelan
ketauladanan, mediaisasi, dan pengembangan kepribadian tentunya menjadi
tanggung jawab yang mungkin dapat diupayakan bersama oleh seluruh elemen bangsa
ini. Atas dasar ikhtiar tersebut, kita sebagai umat Muslim dan bagian dari
bangsa Indonesia, tentunya dapat optimis untuk terus bergerak menuju kepada
perubahan tatanan masyarakat madani yang damai sentosa, aman tentram, makmur
dan bersahaja dengan citra dan harga diri bangsa yang luhur serta yang utama
ialah dapat selamat di dunia ini dan di akhirat nanti. Dalam kaitannya dengan
hal di atas, tentunya pemanfaatan salah satu teknologi media komunikasi era
digital harus senantiasa disandarkan secara utuh dan langsung dengan bentuk dan
sikap ketakwaan. Sehingga tata nilai, etika dan moral (akhlak) yang luhur dan
mulia yang terintegrasikan tentunya telah menjadi muatan utama dalam setiap
kegiatan penyiaran yang dapat dilakukan tersebut. Umat Islam harus bangun dan
bangkit agar mampu memenuhi tantangan ini sehingga bentuk nilai yang terkandung
dari setiap pesan yang dikomunikasikan merupakan nilai-nilai yang terkandung
dalam ajaran suci agama Islam yang bersifat subtansialuniversal (tidak hanya
simbolik semata); ketuhanan, kebenaran, kebaikan, kearifan, kebajikan,
keadilan, kesederhanaan, kejujuran, keutamaan ilmu, kemerdekaan, persatuan umat
dengan persamaan makna, ketauladanan dalam bertakwa, persaingan sehat dan
persaudaraan, persamaan dan tanggungjawab, serta masih banyak lainnya merupakan
nilai-nilai yang memang tidak dapat ditolak oleh pihak manapun bahkan oleh umat
beragama lainnya, sehingga dapat menjadi sebuah kesepahaman, kesepakatan dan
ke-maslahat-an bersama.
Kesimpulan
Kemajuan sains dan
teknologi media digital telah memberikan berbagai kemudahan dan kesejahteraan
bagi kehidupan manusia sekaligus merupakan sarana bagi kesempurnaan manusia
sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya. Allah telah mengaruniakan anugerah
kenikmatan kepada manusia yang bersifat saling melengkapi yaitu anugerah agama
dan kenikmatan sains teknologi. Kemajuan teknologi modern yang begitu pesat
telah memasyarakatkan produk-produk teknologi digital baru seperti telepon
genggam, komputer, berbagai jaringan sosial maya yang kesemuanya terkoneksi
menggunakan Internet, menawarkan aneka jenis hiburan bagi tiap orang tua, kaum
muda, dan juga anak-anak. Namun tentunya alat-alat itu tidak bertanggung jawab
atas apa yang diakibatkannya. Justru di atas pundak manusialah terletak semua
tanggung jawab itu. Adakalanya menjadi manfaat yaitu manakala manusia
menggunakan dengan baik dan tepat. Tetapi dapat pula mendatangkan dosa dan
malapetaka manakala manusia menggunakannya untuk mengumbar hawa nafsu dan
kesenangan semata. Seiring dengan upaya meningkatkan ilmu pengetahuan dan
teknologi, kita pun harus jeli menentukan pilihan ini.
Untuk apakah semua
kemajuan itu? Apakah sekadar untuk menuruti keinginankeinginan syahwat lalu
tenggelam dalam kemewahan dunia hinggamelupakan akhirat dan menjadi
pengikut-pengikut setan? Ataukah sebaliknya semua ilmu dan kemajuan itu dicari
untuk menegakkan syariat Allah guna memakmurkan bumi dan menegakkan keadilan
seperti yang dikehendaki Allah serta untuk meluruskan kehidupan dengan
berlandaskan pada kaidah moral Islam? Agama dan ilmu pengetahuan-teknologi
merupakan dua sisi yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Ilmu adalah
sumber teknologi yang mampu memberikan kemungkinan munculnya berbagai penemuan
rekayasa dan ide. Adapun teknologi adalah terapan atau aplikasi dari ilmu yang
dapat ditunjukkan dalam hasil nyata yang lebih canggih dan dapat mendorong manusia
untuk berkembang lebih maju lagi. Namun, terlepas dari semua itu, perkembangan
teknologi tidak boleh melepaskan diri dari nilai-nilai agama Islam karena agama
tanpa ilmu akan pincang, sedangkan ilmu tanpa agama akan buta. Ada banyak
tantangan yang harus kita jawab dengan pemikiran yang berwawasan jauh ke depan.
Namun terlepas dari problema dan kekhawatiran sebagaimana diuraikan di atas,
kita sebagai umat Islam harus selalu optimis dan tetap bersyukur kepada Allah
SWT. Karena sungguhpun perubahan sosial dan tata nilai kehidupan yang dibawa
oleh arus westernisasi dan sekularisasi terus-menerus menimpa dan
menyerang masyarakat Islam, tetapi kesadaran umat Islam untuk membendung
dampak-dampak negatif dari budaya Barat itu ternyata masih ada meskipun hanya segolongan
kecil umat yaitu mereka yang tetap teguh untuk menegakkan nilai-nilai Islam.
Kesadaran inilah yang harus terus kita pupuk bersama-sama.
Referensi
Buku
Abbas, Bakri. 2003, Komunikasi
Internasional, Yayasan Kampus Tercinta IISIP, Jakarta.
Bakti, Andi Faisal. 2005, ‘Mengkaji Islam
sebagai Objek Ilmu Pengetahuan: Tinjauan Interdisipliner Komunikasi’, Jurnalm
Inovasi Pendidikan Tinggi Agama Islam, vol.7, no. 2, hal. 27- 32.
Bakti, Andi Faisal. 2012, The Role of
Islamic Media in the Globalization Era: Between Religious Principles and Values
of Globalization, the Challenges and the Opportunities, Paper Presented at
Rabithah Alam Islami, Jakarta.
Ruben, B.rent D. dan Stewart, Lea P. 2006, Communication
and Human Behavior, Allyn and Bacon, Boston.
Cherry, Colin. 1978, World Communication:
Threat or Promise? A Socio-Technical Approach,
Wiley, Chichester.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar